Aku tersungkur di atas kuas-kuas dan kertas yang berserakan. Tubuhku
bergetar ketakutan. Sesekali bibirku merintih kesakitan. Kini aku tak bisa
berbuat apa-apa. Tak ada yang bisa membantuku untuk bangkit berdiri. Bahkan
kedua lengan dan tanganku sekalipun.
***
Hawa dingin merambah keseluruh tubuh. Suara adzan subuh menggema, memecah
lazuardi. Aku segera bangkit setelah mendengar pekikan jam weker spidermanku.
Mataku masih terasa sangat berat, tapi aku harus segera mengambil air wudlu. Kupaksakan
kakiku melangkah menuju kamar mandi yang berjarak 5 meter dari kamarku. Setelah
sampai di depan pintu, kulihat ayahku telah dulu memutar gagang keran. Tentu
saja aku harus antri setelahnya. Tak berselang lama, rukun wudlu yang terakhir
telah beliau laksanakan. Beliau keluar sembari menengadahkan tangan, berdo’a. Wajah
lelaki yang hampir memperlihatkan kerutannya ini, kini tersenyum memandangku.
Kemudian beliau kembali masuk ke dalam kamar mandi dan memutar gagang keran untuk yang kedua kalinya. Sejurus
kemudian, air mengucur deras dari lubang berdiameter 1 cm itu. Aku segera
bergegas mendekat menuju kucuran air yang sangat dingin itu. Terasa seperti
pisau yang dengan ganas menikam wajahku. Tapi itu masih belum seberapa, jika
dibandingan dengan cacian dan omelan yang dilontarkan ibu tiriku. Itu dilakukannya
setiap kali ia melihat kekuranganku. Cacian dan omelan itu seolah menjadi lagu
wajib yang harus kudengarkan setiap hari. Pikiranku kembali menerawang.
Mengingat perlakuan buruk yang kerap aku terima. Tak habis pikir aku dibuatnya.
Kenapa ia begitu benci padaku? Apa salahku? Meskipun telingaku telah penuh
dengan perkataan jelek ibu tiriku itu, tapi aku tak pernah sedikitpun menaruh
benci dan dendam padanya. Karena aku sangat menyayanginya.
***
Pagi ini sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Tidak ada yang istimewa.
Hanya daun-daun melinjo yang biasanya
kering dan layu, kini berwarna hijau berbaur bersama berai-berai embun. Di
dalam rumah bercat coklat muda ini, aku, ayahku, dan ibu tiriku tinggal. Tak
terlalu mewah memang. Hanya ada dua kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga,
dapur, kamar mandi, dan musholla. Tapi, hanya ada satu ruangan yang sangat
istimewa bagiku. Ruangan seluas 5 x 4 meter dengan jendela yang tingginya hampir
menyamai pintu. Hanya ada almari kecil dan ranjang, juga meja kayu yang di
atasnya dipenuhi dengan perlengkapan melukis. Sangat sederhana bukan?
Meski warna perak cahaya mentari masuk, tapi suasananya masih terlihat suram
dan sunyi. Hawanya seolah mati ditelan sepi.
Aku berdiri mematung. Menatap
lukisan yang terpampang rapi di dinding ruangan itu yang tak lain adalah
kamarku. Kuperhatikan satu persatu tiap polesannya. Bak pelangi yang tergores
indah. Allah telah memberi keistimewaan pada tangan ibuku. Ibuku pasti
melukisnya dengan sepenuh hati dan perasaan. Ibuku pernah berpesan, agar aku
tak boleh jenuh mengahadapi kuas-kuas itu. Aku harus selalu menggoyangkan
mereka. Agar mereka dapat menghasilkan lukisan yang nyata.
“Hei!! kamu sedang apa Aufal? Dari
tadi ayah perhatikan, sepertinya kamu melamun?” suara ayah membuatku tersentak
kaget.
“Eh, nggak, Yah!! Aufal cuma lagi
ngelihat lukisan pertama Aufal!!” sahutku gugup.
“Lukisan pertama? Mana? Ayah ingin
tahu!!” tanya beliau penasaran.
“Itu yah!!” aku mengarahkan pandangan
pada salah satu lukisan yang berada
tepat di atas ranjangku.
Sesekali
mataku melirik mencari tahu ekspresi ayah. Dan yang kutemukan di sana adalah
raut kesedihan. Tapi secepat mungkin ia mengalihkan pandangannya. Berusaha
membuang jauh kenangan itu.
“Maaf Aufal, ayah harus segera
pergi. Sepertinya ayah sudah terlambat kerja.” Buru-buru ayah meninggalkanku
begitu saja. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Akupun tak tahu.
Lukisan pertamaku adalah
teristimewa. Karena aku melukisnya dengan sangat istimewa. Orang yang ada di
dalam lukisan itulah yang membuat semuanya terasa istimewa. Dalam dirinya tersimpan
banyak sekali keistimewaan. Ia adalah ibu kandungku. Wanita istimewa yang
membuat hidupku berwarna. Membuatku melupakan semua kekuranganku. Kupandangi
wajahnya dengan seksama. Tampak cekungan kecil di kedua pipinya. Matanya
memancarkan keteduhan. Bagiku tiada yang kurang dalam diri ibuku. Mungkin juga
bagi ayahku. Enam bulan yang lalu ia pergi begitu saja setelah penyakit
kankernya sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Membuat aku dan ayahku sangat
terpukul. Tapi tak berselang lama, ayahku sudah menemukan pengganti ibu. Tentu
saja aku tak bisa menolak pilihan ayahku itu. Karena mungkin ini yang terbaik
untukku dan juga ayahku.
“Heh anak cacat!!” tiba-tiba suara
cempreng itu muncul bersamaan dengan gelas plastik yang dilemparnya. “Bisanya cuma
bengong!!! Nggak ada kerjaan lain apa?”
“Aduh!!! Ampun bu!!” pintaku
memelas.
“Ampun, ampun!!! Cepetan bersihin
rumah. Habis ini aku mau arisan!!” bentaknya hingga urat yang ada di leher
kurus itu menyembul keluar.
“Iya, Bu!!” jawabku pasrah.
Aku
bingung harus berbuat apa. Ia selalu menyuruhku melakukan ini dan itu. Tapi begitu
aku selesai melakukan perintahnya, ia
akan berkata “Gini aja nggak becus!!! Dasar anak cacat!!!”. Perasaanku seakan
teriris jika ia mulai mengatakan kata-kata yang mungkin membuatku sedikit rela
mengeluarkan tenaga untuk marah. Apakah aku seburuk itu? Entahlah.
***
Sinar keemasan matahari pagi memijat
bumi. Tampak pohon mangga yang berdiri kokoh di depan rumah tumbuh dengan
bugar. Layaknya perasaanku pagi ini.
Entah terkena angin apa tiba-tiba ayah ingin mengajakku mengunjungi museum. Tentu saja aku sangat bersemangat mengiyakan ajakan ayah itu.
“Ayo cepat Aufal....nanti keburu
siang....!!” teriak ayah dari depan teras.
“Iya, Yah.....!!!”
Suara deru
motor mengiringi kepergianku. Aku dan ayah sangat bersemangat menuju museum yang berada tak jauh dari rumah kami. Jaraknya hanya bisa ditempuh dalam sepuluh menit. Setelah
sampai di depan pintu museum itu, aku berdecak kagum. “Bukankah ini
museum lukisan Affandi yang pernah diceritakan ibu
dulu?”
batinku dalam hati.
“Ayah...apakah ini museum lukisan
Affandi? Pelukis Indonesia yang legendaris itu?”
“Benar Aufal....tempat ini adalah
tempat bersejarah bagi ayah. Tempat ayah dan ibumu bertemu untuk yang pertama
kali.”
“Ibu pernah bercerita ayah. Ibu juga
sangat menyukai tempat ini. Ia bahkan pernah berjanji akan mengajakku ke sini.”
Kataku dengan nada sedikit bergetar. Setiap kali aku mengingat ibu, mutiara bening akan meluncur keluar dari benteng kelopak mataku. Tapi secepat mungkin aku menahannya. Aku melihat sekeliling tempat itu. Suasananya sangat damai
dan asri. Dindingnya tinggi berwarna abu-abu. Aku tak sabar ingin segera menjajaki tempat
itu. Rupanya ayah sangat tau perangaiku.
Ayah segera merengkuh pundakku dan kemudian menuntunku masuk.
“Aufal…tetaplah di
samping ayah. Jika ada orang yang melihatmu dengan tatapan aneh, jangan kamu
hiraukan.” Pesan ayah kepadaku setengah berbisik. Aku hanya mengangguk pelan.
Aku tau betul apa yang dimaksudkan ayah.
Di sepanjang lorong aku melihat banyak lukisan berderet terpampang rapi.
Kuperhatikan satu persatu tiap model dan polesannya. Sangat indah. Maklum saja,
pelukisnya adalah Affandi. Pelukis yang dikenal sebagai
Maestro Seni Lukis Indonesia ini,
juga terkenal di dunia
internasional berkat gaya
ekspresionisnya
yang khas. Pada tahun 1950-an ia banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris,
Eropa,
dan Amerika Serikat. Dan yang paling mengagumkan lagi, Affandi telah melukis lebih dari dua ribu
lukisan. Aku sangat bangga sekali bisa berada di tempat
istimewa ini. Bagiku, tempat ini adalah tempat rekreasi terbaik. Biaya masuknya
pun tidak terlalu mahal. Ayahku hanya cukup mengeluarkan kocek 10.000 ribu untuk masuk.
Museum yang berlokasi ditepi barat
sungai Gajah Wong Yogyakarta ini dulunya juga merupakan tempat tinggal sang
maestro. Bangunannya yang serba putih dan terkesan megah ini
dirancang oleh sang maestro sendiri.
Aku hafal betul
dengan riwayat hidup Affandi. Ibuku lah yang rajin memberiku informasi tentang
pelukis favoritnya itu. Akhirnya aku pun bersemangat untuk mengikuti jejak
Affandi. Bahkan aku sempat mengatakan hal itu kepada ibu. Ibu hanya tersenyum
dan membelai rambutku pelan.
“Ayah…aku ingin bisa menjadi seperti
Affandi. Menjadi pelukis terkenal dan mempunyai museum yang besar. “ sembari berkata seperti itu, aku mendekati
salah satu lukisan. Ayah hanya mengangguk sembari tersenyum ramah. Tapi tidak
untuk dua orang yang berada di sampingku. Mereka berbisik satu sama lain.
Sesekali mereka tertawa mengejek. Aku yang tak suka dengan gelagat mereka
memilih untuk diam dan tak menghiraukan sedikitpun.
“Ayo Aufal, kita pergi ke sebelah sana …..” ajak ayah
buru-buru. Mungkin ayah tak mau melihatku sedih hanya karena omongan kedua
orang itu.
“Apakah kamu suka dengan lukisan
ini?” tiba-tiba seorang lelaki paruh baya bertanya kepadaku. Kedua tangannya
membawa cat air dan beberapa kuas. Di punggung lelaki itu tampak ransel besar
dengan kertas manila putih yang menyembul keluar
di bagian atasnya.
“Saya perhatikan dari tadi,
sepertinya kamu sangat menyukai lukisan-lukisan ini nak?” imbuh lelaki itu.
“Ya….saya sangat menyukai lukisan
ini. saya ingin sekali melukis seperti ini.” kataku bersemangat.
“Benarkah? Kamu bisa melukis?”
“Oh…tentu saja. Saya sangat gemar
melukis.”
“Kalau begitu, maukah kamu
melukiskannya untukku? Itu jika kamu tidak keberatan.” Pinta lelaki itu tak
kalah semangatnya.“
“Dengan senang hati.” jawabku mantap. Kemudian kami keluar dari dalam museum
dan mencari tempat teduh di sekitar museum.
“Lukislah seseorang yang kamu
sayangi, Nak.
Goyangkan kuas itu dengan perasaanmu.” Lelaki itu menatapku iba. Tak lama
kemudian, aku mulai menuruti permintaannya.
“Luar
biasa…!!! Meskipun kamu memiliki kekurangn fisik, tapi keahlianmu dalam melukis
melebihi pelukis terkenal manapun.” Kata-kata lelaki itu membuatku sedikit
bangga. Tapi ini semua berkat ibu. Aku tak akan bisa seperti ini jika ibuku tak
mengajariku. Seharusnya ibuku lah yang pantas mendapatkan pujian itu.
“Terimakasih, Paman…..”
“Siapa namamu, Nak…?”
“Aufal…” jawab ayah girang.
“Maaf, Pak…!! Anak Anda ini luar biasa. Saya sangat terkejut dengan
caranya melukis. Bagaimana bisa Aufal melakukannya? Bolehkah saya bertanya sesuatu?”
“Ya silahkan!!” kata ayah
mengizinkan.
“Apakah kekurangan Aufal ini sejak
lahir?”
“Ya, Pak….Aufal cacat sejak lahir.” nada suara ayah berubah sedih.
“Maaf, Pak…saya tak bermaksud apa-apa. Kalau begitu, bawalah
lukisan itu pulang Aufal. Berikan pada orang yang berada dalam lukisan itu.”
Lelaki itu tersenyum kemudian berlalu pergi.
***
Aku
tiba di rumah ketika senja sekarat dimbang malam. Lirih suara angin membisikkan
sesuatu yang janggal di telinga. Aku melihat kubah langit yang lengang. Di
sebelah barat tampak rongga hitam langit menganga. Sepertinya malam ini guyuran
hujan akan sangat lebat. Ayah mengultimatumku untuk segera masuk dan menutup
semua jendela rumah rapat-rapat. Dari dalam kamar mandi terdengar gemericik air
bersahutan. Mungkin itu ibu tiriku yang sedang membersihkan badan. Segera
kulangkahkan kaki menuju kamar dan menaruh lukisan ini di tempat yang aman.
Karena aku tak bisa melakukannya sendiri, akhirnya kuminta ayah untuk menaruhnya. Dugaanku tak meleset.
Samar-samar terdengar rintikan hujan menyerbu atap rumahku. Semakin lama
semakin deras. Kuputuskan untuk menunaikan sholat maghrib terlebih dulu.
Ternyata dalam musholla ayah sudah menungguku sembari memberi isyarat agar aku
berjalan lekas.
Malam
ini aku menjalankan sholat maghrib hanya dengan ayah. Ibu tiriku tak ikut
karena alasan biasa. Lama aku berada di musholla melantukan ayat suci Al Quran.
Aku berniat menunggu adzan isya’ sebelum beranjak tidur. Tak lama berselang,
adzan menggema. Sayup-sayup suaranya berbaur bersama derasnya air hujan. Tanpa
basa basi akupun kembali berjama’ah dengan ayah. Aku memohon kepada Allah agar
aku diberikan kesabaran. Agar Allah memberi ku banyak cinta dan kasih
sayangnya. Agar aku bisa mendapatkan kehangatan dan perhatian seorang ibu. Apakah
aku salah jika anak berumur sembilan tahun sepertiku haus akan kasih sayang?
Seandainya aku mempunyai fisik yang sempurna, aku tak akan pernah merepotkan
ayahku lagi, ibu tiriku juga tak akan pernah menghina dan mencaciku.
Untungnya
Allah sangat adil. Meskipun kedua lengan dan tanganku tiada, tapi Allah
menambahkan kemampuan yang luar biasa kepadaku melalui ibu kandungku. Ya,
meskipun aku tak bisa melukis dengan tangan layaknya pelukis-pelukis biasa.
Tapi aku masih bisa memanfaatkan anggota tubuh lain untuk menggerakkan
kuas-kuas itu. Aku masih bisa menggunakan mulut dan terkadang kakiku untuk
memegang kuas. Awalnya aku tak biasa dengan cara seperti itu. Ibuku lah yang
memberiku pelajaran dan semangat untuk dapat menghadapi kehidupan ini. Cacat
bukanlah akhir dari segalanya. Itulah kata-kata ibu yang terus terekam dalam
memoriku. Setelah selesai, aku pamit pada ayah untuk beranjak ke kamar.
Kuarahkan kakiku pada engsel pintu dan mendorongnya. Mataku langsung tertuju
pada lukisan ibu yang berada tepat di atas tempat tidur. Di samping lukisan ibu
telah ada lukisan baru yang terutup kain hitam. Entah kenapa ayah menutupnya
dengan kain hitam. Aku sendiri tak tau alasan yang sebenarnya. Tapi itu semua
tak terlalu penting. Yang terpenting
saat ini adalah orang yang berada dalam lukisan itu adalah orang yang akan
kusayang sejajar dengan sayangku pada ibu.
Malam semakin larut. Aku ingin
segera memejamkan mata dan berharap bisa bermimpi bertemu ibu. Tiba-tiba pintu
kamarku dibuka dan seorang wanita berambut ikal kemerahan masuk dengan membawa
segelas susu.
“Aufal…sebelum kamu tidur, minumlah
susu hangat ini dulu biar kamu nyenyak tidurnya.” Kata ibu tiriku sembari
menyodorkan gelas itu kepadaku. Aku sangat heran dengan tingkah ibu tiriku. Tak
biasanya ia berkata lembut dan bahkan membuatkanku susu. Mungkin Allah telah
mendengar do’aku. Dengan semangat,
kuanggukkan kepala tanda setuju.
“Anak pinter…sini ibu bantu minum, kamu kan nggak bisa pegang sendiri.” Ia mengarahkan
gelas itu ke dalam mulutku sembari tersenyum lebar. Rasanya memang sangat
lezat.
“Terimakasih, Bu….ibu sangat baik padaku. Aku punya hadiah buat ibu. Aku jamin ibu pasti
akan suka.” Kataku bersemangat. Ibu tiriku hanya tersenyum tanpa berkata
apa-apa. Ia kemudian menutup pintu dan menguncinya.
“Kenapa dikunci, Bu? Ibu ingin tidur di sini bersama Aufal?” lagi-lagi
ia tak menjawab. Dengan langkah tenang ia berjalan ke arahku dan duduk tepat di
sampingku. Bibirku mulai mengembang berharap bahwa ia akan menemaniku malam ini. Tapi tiba-tiba kepalaku sangat
pusing dan badanku mengejang. Serasa sangat sakit. Di tengah-tengah kesakitanku
itu, ibu tiriku tertawa lebar. Matanya nampak merah berkilat seakan merasa
senang dan puas dengan keadaanku. Aku mulai tak kuat. Bibirku mengeluarkan
cairan putih berbusa. Ia menyaksikan
penderitaanku dan tak
bergeming sedikitpun. Ia kemudian berdiri dan mengobrak-abrik seluruh isi kamarku. Ia membuang semua kuas
dan cat air serta peralatan melukis lainnya. Ia seperti kesetanan. Tak puas
dengan itu, ia mengambil semua lukisan yang berada di dinding kamarku dan kemudian membantingnya satu persatu. Aku yang
tetap bertahan dengan penderitaanku tak bisa berbuat apa-apa. Mataku panas dan
aku menangis. Terdengar suara ayah dari luar yang menggedor-gedor pintu kamar. Dengan
lantang, berkali-kali ayah memanggil namaku. Ibu tiriku tetap tak merespon. Ia
kemudian naik ke atas tempat tidur dan mengambil lukisan ibu
dan menatapnya dengan garang.
“Aku sudah balas dendam, denganmu. Sebentar lagi anakmu yang akan menyusulmu
ke sana
hahahaha…….!!!”
Sangat menakutkan sekali. Ia membanting lukisan ibu dengan penuh amarah.
Tangannya kemudian mengarah pada lukisan yang tertutup kain hitam. Ia mengambil
paksa lukisan itu. Setelah melihat
gambar yang ada di dalamnya, ia kemudian terdiam. Alisnya berkerut heran.
“Ini siapa?” bentaknya lantang. Aku
tak bisa menjawab. Nafasku seakan berhenti di kerongkongan.
“Ini siapa?” kali ini nada suaranya
tak seperti biasanya. Sedikit rendah dan bergetar meskipun matanya masih
menyiratkan kebencian. Ia kemudian duduk lemas dan menangis.
“I..tu..a…dalah…eng..kau…i..bu…itu…hadi…ah
un..tuk..mu…”kataku terbata yang kemudian disusul dengan busa putih yang
semakin lama memberontak keluar. Mendengar perkataanku, ia menangis tiada
henti. Ia membalik lukisan itu dan membaca tulisan yang berada di belakangnya. “Aku
melukis ini dengan penuh rasa cinta. Aku akan menyayangi ibu tiriku melebihi
apapun. Karena selain ayah, ia lah yang mau tinggal bersamaku.”
“Bagaimana bisa kamu melakukan ini?”
sembari mengguncang-guncangkan tubuhku, ia menangis sejadinya. Ia merengkuh dan
mendekapku erat.
“Kenapa aku bisa
melakukan ini
semua? Aku telah membunuh orang yang tak berdosa. Aku
termakan dendam. Maafkan aku Aufal. Seharusnya ini tak boleh terjadi. Aku
menyesal Aufal, bertahanlah…..!!!”
ia menyesali perbuatannya. Ia juga berjanji akan menyayangiku. Ia melakukan ini
karena ia dendam terhadap ibuku. Aku tak tau sebenarnya masa lalu apa yang
terjadi antara ibu dan dan ibu tiriku ini. Tapi aku sangat bahagia karena ibu
tiriku mau menyayangiku layaknya anak normal lainnya. Kini aku bisa memejamkan
mata dan bisa bersama ibu kandungku di sana
selamanya dengan tenang.
Posting Komentar