Headlines News :
Home » » cerpen

cerpen

Written By Unknown on Selasa, 09 April 2013 | 22.45


SECUIL CINTA UNTUKKU




Aku tersungkur di atas kuas-kuas dan kertas yang berserakan. Tubuhku bergetar ketakutan. Sesekali bibirku merintih kesakitan. Kini aku tak bisa berbuat apa-apa. Tak ada yang bisa membantuku untuk bangkit berdiri. Bahkan kedua lengan dan tanganku sekalipun.
***
Hawa dingin merambah keseluruh tubuh. Suara adzan subuh menggema, memecah lazuardi. Aku segera bangkit setelah mendengar pekikan jam weker spidermanku. Mataku masih terasa sangat berat, tapi aku harus segera mengambil air wudlu. Kupaksakan kakiku melangkah menuju kamar mandi yang berjarak 5 meter dari kamarku. Setelah sampai di depan pintu, kulihat ayahku telah dulu memutar gagang keran. Tentu saja aku harus antri setelahnya. Tak berselang lama, rukun wudlu yang terakhir telah beliau laksanakan. Beliau keluar sembari menengadahkan tangan, berdo’a. Wajah lelaki yang hampir memperlihatkan kerutannya ini, kini tersenyum memandangku. Kemudian beliau kembali masuk ke dalam kamar mandi dan memutar  gagang keran untuk yang kedua kalinya. Sejurus kemudian, air mengucur deras dari lubang berdiameter 1 cm itu. Aku segera bergegas mendekat menuju kucuran air yang sangat dingin itu. Terasa seperti pisau yang dengan ganas menikam wajahku. Tapi itu masih belum seberapa, jika dibandingan dengan cacian dan omelan yang dilontarkan ibu tiriku. Itu dilakukannya setiap kali ia melihat kekuranganku. Cacian dan omelan itu seolah menjadi lagu wajib yang harus kudengarkan setiap hari. Pikiranku kembali menerawang. Mengingat perlakuan buruk yang kerap aku terima. Tak habis pikir aku dibuatnya. Kenapa ia begitu benci padaku? Apa salahku? Meskipun telingaku telah penuh dengan perkataan jelek ibu tiriku itu, tapi aku tak pernah sedikitpun menaruh benci dan dendam padanya. Karena aku sangat menyayanginya.
***
Pagi ini sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Tidak ada yang istimewa. Hanya daun-daun  melinjo yang biasanya kering dan layu, kini berwarna hijau berbaur bersama berai-berai embun. Di dalam rumah bercat coklat muda ini, aku, ayahku, dan ibu tiriku tinggal. Tak terlalu mewah memang. Hanya ada dua kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga, dapur, kamar mandi, dan musholla. Tapi, hanya ada satu ruangan yang sangat istimewa bagiku. Ruangan seluas 5 x 4 meter dengan jendela yang tingginya  hampir menyamai pintu. Hanya ada almari kecil dan ranjang, juga meja kayu yang di atasnya dipenuhi dengan perlengkapan melukis. Sangat sederhana bukan? Meski warna perak cahaya mentari masuk, tapi suasananya masih terlihat suram dan sunyi. Hawanya seolah mati ditelan sepi.  
            Aku berdiri mematung. Menatap lukisan yang terpampang rapi di dinding ruangan itu yang tak lain adalah kamarku. Kuperhatikan satu persatu tiap polesannya. Bak pelangi yang tergores indah. Allah telah memberi keistimewaan pada tangan ibuku. Ibuku pasti melukisnya dengan sepenuh hati dan perasaan. Ibuku pernah berpesan, agar aku tak boleh jenuh mengahadapi kuas-kuas itu. Aku harus selalu menggoyangkan mereka. Agar mereka dapat menghasilkan lukisan yang nyata.  
            “Hei!! kamu sedang apa Aufal? Dari tadi ayah perhatikan, sepertinya kamu melamun?” suara ayah membuatku tersentak kaget.
            “Eh, nggak, Yah!! Aufal cuma lagi ngelihat lukisan pertama Aufal!!” sahutku gugup.
            “Lukisan pertama? Mana? Ayah ingin tahu!!” tanya beliau penasaran.
            “Itu yah!!” aku mengarahkan pandangan  pada salah satu lukisan yang berada tepat di atas ranjangku.
Sesekali mataku melirik mencari tahu ekspresi ayah. Dan yang kutemukan di sana adalah raut kesedihan. Tapi secepat mungkin ia mengalihkan pandangannya. Berusaha membuang jauh kenangan itu.
            “Maaf Aufal, ayah harus segera pergi. Sepertinya ayah sudah terlambat kerja.” Buru-buru ayah meninggalkanku begitu saja. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Akupun tak tahu.
            Lukisan pertamaku adalah teristimewa. Karena aku melukisnya dengan sangat istimewa. Orang yang ada di dalam lukisan itulah yang membuat semuanya terasa istimewa. Dalam dirinya tersimpan banyak sekali keistimewaan. Ia adalah ibu kandungku. Wanita istimewa yang membuat hidupku berwarna. Membuatku melupakan semua kekuranganku. Kupandangi wajahnya dengan seksama. Tampak cekungan kecil di kedua pipinya. Matanya memancarkan keteduhan. Bagiku tiada yang kurang dalam diri ibuku. Mungkin juga bagi ayahku. Enam  bulan yang  lalu ia pergi begitu saja setelah penyakit kankernya sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Membuat aku dan ayahku sangat terpukul. Tapi tak berselang lama, ayahku sudah menemukan pengganti ibu. Tentu saja aku tak bisa menolak pilihan ayahku itu. Karena mungkin ini yang terbaik untukku dan juga ayahku.
            “Heh anak cacat!!” tiba-tiba suara cempreng itu muncul bersamaan dengan gelas plastik yang dilemparnya. “Bisanya cuma bengong!!! Nggak ada kerjaan lain apa?”
            “Aduh!!! Ampun bu!!” pintaku memelas.
            “Ampun, ampun!!! Cepetan bersihin rumah. Habis ini aku mau arisan!!” bentaknya hingga urat yang ada di leher kurus itu menyembul keluar.
            “Iya, Bu!!” jawabku pasrah.
Aku bingung harus berbuat apa. Ia selalu menyuruhku melakukan ini dan itu. Tapi begitu aku  selesai melakukan perintahnya, ia akan berkata “Gini aja nggak becus!!! Dasar anak cacat!!!”. Perasaanku seakan teriris jika ia mulai mengatakan kata-kata yang mungkin membuatku sedikit rela mengeluarkan tenaga untuk marah. Apakah aku seburuk itu? Entahlah.
***
            Sinar keemasan matahari pagi memijat bumi. Tampak pohon mangga yang berdiri kokoh di depan rumah tumbuh dengan bugar. Layaknya perasaanku pagi ini. Entah terkena angin apa tiba-tiba ayah ingin mengajakku mengunjungi museum. Tentu saja aku sangat bersemangat mengiyakan ajakan ayah itu.
            “Ayo cepat Aufal....nanti keburu siang....!!” teriak ayah dari depan teras.
            “Iya, Yah.....!!!”
Suara deru motor mengiringi kepergianku. Aku dan ayah sangat bersemangat menuju museum yang berada tak jauh dari rumah kami. Jaraknya hanya bisa ditempuh dalam sepuluh menit. Setelah sampai di depan pintu museum itu, aku berdecak kagum. “Bukankah ini museum lukisan Affandi yang pernah diceritakan ibu dulu?” batinku dalam hati.
            “Ayah...apakah ini museum lukisan Affandi? Pelukis Indonesia yang legendaris itu?”
            “Benar Aufal....tempat ini adalah tempat bersejarah bagi ayah. Tempat ayah dan ibumu bertemu untuk yang pertama kali.”
            “Ibu pernah bercerita ayah. Ibu juga sangat menyukai tempat ini. Ia bahkan pernah berjanji akan mengajakku ke sini.” Kataku dengan nada sedikit bergetar. Setiap kali aku mengingat ibu, mutiara bening akan meluncur keluar dari benteng kelopak mataku. Tapi secepat mungkin aku menahannya. Aku melihat sekeliling tempat itu. Suasananya sangat damai dan asri. Dindingnya tinggi berwarna abu-abu. Aku tak sabar ingin segera menjajaki tempat itu. Rupanya ayah sangat tau perangaiku. Ayah segera merengkuh pundakku dan kemudian menuntunku masuk.
            “Aufal…tetaplah di samping ayah. Jika ada orang yang melihatmu dengan tatapan aneh, jangan kamu hiraukan.” Pesan ayah kepadaku setengah berbisik. Aku hanya mengangguk pelan. Aku tau betul apa yang dimaksudkan ayah.
Di sepanjang lorong aku melihat banyak lukisan berderet terpampang rapi. Kuperhatikan satu persatu tiap model dan polesannya. Sangat indah. Maklum saja, pelukisnya adalah Affandi. Pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia ini, juga terkenal di dunia internasional berkat gaya ekspresionisnya yang khas. Pada tahun 1950-an ia banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat. Dan yang paling mengagumkan lagi,  Affandi telah melukis lebih dari dua ribu lukisan. Aku sangat bangga sekali bisa berada di tempat istimewa ini. Bagiku, tempat ini adalah tempat rekreasi terbaik. Biaya masuknya pun tidak terlalu mahal. Ayahku hanya cukup mengeluarkan kocek 10.000 ribu untuk masuk.
Museum yang berlokasi ditepi barat sungai Gajah Wong Yogyakarta ini dulunya juga merupakan tempat tinggal sang maestro. Bangunannya yang serba putih dan terkesan megah ini dirancang oleh sang maestro sendiri.
Aku hafal betul dengan riwayat hidup Affandi. Ibuku lah yang rajin memberiku informasi tentang pelukis favoritnya itu. Akhirnya aku pun bersemangat untuk mengikuti jejak Affandi. Bahkan aku sempat mengatakan hal itu kepada ibu. Ibu hanya tersenyum dan membelai rambutku pelan.
            “Ayah…aku ingin bisa menjadi seperti Affandi. Menjadi pelukis terkenal dan mempunyai museum yang besar. “  sembari berkata seperti itu, aku mendekati salah satu lukisan. Ayah hanya mengangguk sembari tersenyum ramah. Tapi tidak untuk dua orang yang berada di sampingku. Mereka berbisik satu sama lain. Sesekali mereka tertawa mengejek. Aku yang tak suka dengan gelagat mereka memilih untuk diam dan tak menghiraukan sedikitpun.
            “Ayo Aufal, kita pergi ke sebelah sana…..” ajak ayah buru-buru. Mungkin ayah tak mau melihatku sedih hanya karena omongan kedua orang itu.
            “Apakah kamu suka dengan lukisan ini?” tiba-tiba seorang lelaki paruh baya bertanya kepadaku. Kedua tangannya membawa cat air dan beberapa kuas. Di punggung lelaki itu tampak ransel besar dengan kertas manila putih yang menyembul keluar di bagian atasnya.
            “Saya perhatikan dari tadi, sepertinya kamu sangat menyukai lukisan-lukisan ini nak?” imbuh lelaki itu.
            “Ya….saya sangat menyukai lukisan ini. saya ingin sekali melukis seperti ini.” kataku bersemangat.
            “Benarkah? Kamu bisa melukis?”
            “Oh…tentu saja. Saya sangat gemar melukis.”
            “Kalau begitu, maukah kamu melukiskannya untukku? Itu jika kamu tidak keberatan.” Pinta lelaki itu tak kalah semangatnya.“
            “Dengan senang hati.” jawabku mantap. Kemudian kami keluar dari dalam museum dan mencari tempat teduh di sekitar museum.
            “Lukislah seseorang yang kamu sayangi, Nak. Goyangkan kuas itu dengan perasaanmu.” Lelaki itu menatapku iba. Tak lama kemudian, aku mulai menuruti permintaannya.
“Luar biasa…!!! Meskipun kamu memiliki kekurangn fisik, tapi keahlianmu dalam melukis melebihi pelukis terkenal manapun.” Kata-kata lelaki itu membuatku sedikit bangga. Tapi ini semua berkat ibu. Aku tak akan bisa seperti ini jika ibuku tak mengajariku. Seharusnya ibuku lah yang pantas mendapatkan pujian itu.
            “Terimakasih, Paman…..”
            “Siapa namamu, Nak…?”
            “Aufal…” jawab ayah girang.
            “Maaf, Pak…!! Anak Anda ini luar biasa. Saya sangat terkejut dengan caranya melukis. Bagaimana bisa Aufal melakukannya?  Bolehkah saya bertanya sesuatu?”
            “Ya silahkan!!” kata ayah mengizinkan.
            “Apakah kekurangan Aufal ini sejak lahir?”
            “Ya, Pak….Aufal cacat sejak lahir.” nada suara ayah berubah sedih.
            “Maaf, Pak…saya tak bermaksud apa-apa. Kalau begitu, bawalah lukisan itu pulang Aufal. Berikan pada orang yang berada dalam lukisan itu.” Lelaki itu tersenyum kemudian berlalu pergi.
***

Aku tiba di rumah ketika senja sekarat dimbang malam. Lirih suara angin membisikkan sesuatu yang janggal di telinga. Aku melihat kubah langit yang lengang. Di sebelah barat tampak rongga hitam langit menganga. Sepertinya malam ini guyuran hujan akan sangat lebat. Ayah mengultimatumku untuk segera masuk dan menutup semua jendela rumah rapat-rapat. Dari dalam kamar mandi terdengar gemericik air bersahutan. Mungkin itu ibu tiriku yang sedang membersihkan badan. Segera kulangkahkan kaki menuju kamar dan menaruh lukisan ini di tempat yang aman. Karena aku tak bisa melakukannya sendiri, akhirnya kuminta  ayah untuk menaruhnya. Dugaanku tak meleset. Samar-samar terdengar rintikan hujan menyerbu atap rumahku. Semakin lama semakin deras. Kuputuskan untuk menunaikan sholat maghrib terlebih dulu. Ternyata dalam musholla ayah sudah menungguku sembari memberi isyarat agar aku berjalan lekas.
Malam ini aku menjalankan sholat maghrib hanya dengan ayah. Ibu tiriku tak ikut karena alasan biasa. Lama aku berada di musholla melantukan ayat suci Al Quran. Aku berniat menunggu adzan isya’ sebelum beranjak tidur. Tak lama berselang, adzan menggema. Sayup-sayup suaranya berbaur bersama derasnya air hujan. Tanpa basa basi akupun kembali berjama’ah dengan ayah. Aku memohon kepada Allah agar aku diberikan kesabaran. Agar Allah memberi ku banyak cinta dan kasih sayangnya. Agar aku bisa mendapatkan kehangatan dan perhatian seorang ibu. Apakah aku salah jika anak berumur sembilan tahun sepertiku haus akan kasih sayang? Seandainya aku mempunyai fisik yang sempurna, aku tak akan pernah merepotkan ayahku lagi, ibu tiriku juga tak akan pernah menghina dan mencaciku.
Untungnya Allah sangat adil. Meskipun kedua lengan dan tanganku tiada, tapi Allah menambahkan kemampuan yang luar biasa kepadaku melalui ibu kandungku. Ya, meskipun aku tak bisa melukis dengan tangan layaknya pelukis-pelukis biasa. Tapi aku masih bisa memanfaatkan anggota tubuh lain untuk menggerakkan kuas-kuas itu. Aku masih bisa menggunakan mulut dan terkadang kakiku untuk memegang kuas. Awalnya aku tak biasa dengan cara seperti itu. Ibuku lah yang memberiku pelajaran dan semangat untuk dapat menghadapi kehidupan ini. Cacat bukanlah akhir dari segalanya. Itulah kata-kata ibu yang terus terekam dalam memoriku. Setelah selesai, aku pamit pada ayah untuk beranjak ke kamar. Kuarahkan kakiku pada engsel pintu dan mendorongnya. Mataku langsung tertuju pada lukisan ibu yang berada tepat di atas tempat tidur. Di samping lukisan ibu telah ada lukisan baru yang terutup kain hitam. Entah kenapa ayah menutupnya dengan kain hitam. Aku sendiri tak tau alasan yang sebenarnya. Tapi itu semua tak terlalu penting.  Yang terpenting saat ini adalah orang yang berada dalam lukisan itu adalah orang yang akan kusayang sejajar dengan sayangku pada ibu.
            Malam semakin larut. Aku ingin segera memejamkan mata dan berharap bisa bermimpi bertemu ibu. Tiba-tiba pintu kamarku dibuka dan seorang wanita berambut ikal kemerahan masuk dengan membawa segelas susu.
            “Aufal…sebelum kamu tidur, minumlah susu hangat ini dulu biar kamu nyenyak tidurnya.” Kata ibu tiriku sembari menyodorkan gelas itu kepadaku. Aku sangat heran dengan tingkah ibu tiriku. Tak biasanya ia berkata lembut dan bahkan membuatkanku susu. Mungkin Allah telah mendengar do’aku. Dengan semangat,  kuanggukkan kepala tanda setuju.
            “Anak pinter…sini ibu bantu minum, kamu kan nggak bisa pegang sendiri.” Ia mengarahkan gelas itu ke dalam mulutku sembari tersenyum lebar. Rasanya memang sangat lezat.
            “Terimakasih, Bu….ibu sangat baik padaku. Aku punya hadiah buat ibu. Aku jamin ibu pasti akan suka.” Kataku bersemangat. Ibu tiriku hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa. Ia kemudian menutup pintu dan menguncinya.
            “Kenapa dikunci, Bu? Ibu ingin tidur di sini bersama Aufal?” lagi-lagi ia tak menjawab. Dengan langkah tenang ia berjalan ke arahku dan duduk tepat di sampingku. Bibirku mulai mengembang berharap bahwa ia akan menemaniku malam ini. Tapi tiba-tiba kepalaku sangat pusing dan badanku mengejang. Serasa sangat sakit. Di tengah-tengah kesakitanku itu, ibu tiriku tertawa lebar. Matanya nampak merah berkilat seakan merasa senang dan puas dengan keadaanku. Aku mulai tak kuat. Bibirku mengeluarkan cairan putih berbusa. Ia  menyaksikan penderitaanku dan tak bergeming sedikitpun. Ia kemudian berdiri dan mengobrak-abrik  seluruh isi kamarku. Ia membuang semua kuas dan cat air serta peralatan melukis lainnya. Ia seperti kesetanan. Tak puas dengan itu, ia mengambil semua lukisan yang berada di dinding kamarku dan kemudian membantingnya satu persatu. Aku yang tetap bertahan dengan penderitaanku tak bisa berbuat apa-apa. Mataku panas dan aku menangis. Terdengar suara ayah dari luar yang menggedor-gedor pintu kamar. Dengan lantang, berkali-kali ayah memanggil namaku. Ibu tiriku tetap tak merespon. Ia kemudian naik ke atas tempat tidur dan mengambil lukisan ibu dan menatapnya dengan garang.
            “Aku sudah balas dendam, denganmu. Sebentar lagi anakmu yang akan menyusulmu ke sana hahahaha…….!!!” Sangat menakutkan sekali. Ia membanting lukisan ibu dengan penuh amarah. Tangannya kemudian mengarah pada lukisan yang tertutup kain hitam. Ia mengambil paksa  lukisan itu. Setelah melihat gambar yang ada di dalamnya, ia kemudian terdiam. Alisnya berkerut heran.
            “Ini siapa?” bentaknya lantang. Aku tak bisa menjawab. Nafasku seakan berhenti di kerongkongan.
            “Ini siapa?” kali ini nada suaranya tak seperti biasanya. Sedikit rendah dan bergetar meskipun matanya masih menyiratkan kebencian. Ia kemudian duduk lemas dan menangis.
            “I..tu..a…dalah…eng..kau…i..bu…itu…hadi…ah un..tuk..mu…”kataku terbata yang kemudian disusul dengan busa putih yang semakin lama memberontak keluar. Mendengar perkataanku, ia menangis tiada henti. Ia membalik lukisan itu dan membaca tulisan yang berada di belakangnya. “Aku melukis ini dengan penuh rasa cinta. Aku akan menyayangi ibu tiriku melebihi apapun. Karena selain ayah, ia lah yang mau tinggal bersamaku.”
            “Bagaimana bisa kamu melakukan ini?” sembari mengguncang-guncangkan tubuhku, ia menangis sejadinya. Ia merengkuh dan mendekapku erat.
            “Kenapa aku bisa melakukan ini semua? Aku telah membunuh orang yang tak berdosa. Aku termakan dendam. Maafkan aku Aufal. Seharusnya ini tak boleh terjadi. Aku menyesal Aufal, bertahanlah…..!!!” ia menyesali perbuatannya. Ia juga berjanji akan menyayangiku. Ia melakukan ini karena ia dendam terhadap ibuku. Aku tak tau sebenarnya masa lalu apa yang terjadi antara ibu dan dan ibu tiriku ini. Tapi aku sangat bahagia karena ibu tiriku mau menyayangiku layaknya anak normal lainnya. Kini aku bisa memejamkan mata dan bisa bersama ibu kandungku di sana selamanya dengan tenang. 




























































Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Wafiyyul Muqorrobin - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger