AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara
doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai
status Al-Qur’an apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat antara
Sifat-Sifat Allah antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan
seterusnya.
Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman
al-khulafa’ ar-rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang
melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah. Bersama kekalahan
Khalifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim)
oleh kubu Muawiyah, ummat Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. Di
antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut
Khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang
membelot karena tidak setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah
yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyah.
Selain tiga golongan tersebut masih ada Murjiah dan Qadariah, faham bahwa
segala sesuatu yang terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut
campur (af’al al-ibad min al-ibad) – berlawanan dengan faham Jabariyah.
Di antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori
oleh Imam Abu Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih
dikenal dengan nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan
aktivitas keagamaan yang bersifat kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha
mencari jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian
politik antara berbagai faksi politik (firqah) yang berkembang ketika itu.
Sebaliknya mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk,
moderat dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak
mudah untuk mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam
pertikaian politik ketika itu.
Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi
Ulama setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam
Malik Ibn Anas (w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H),
Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H), hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (w
324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah
permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan; meskipun bila ditelusuri secara
teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.
Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham
Ahlussunnah wal Jama’ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan
ini adalah penganut madzhab Syafi’i, dan sebagian terbesarnya tergabung – baik
tergabung secara sadar maupun tidak – dalam jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, yang
sejak awal berdiri menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah wal-Jama’ah.
Nahdlatul ‘Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan
diri berfaham Aswaja. Dalam Qanun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh
Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari juga tidak disebutkan definisi Aswaja. Namun
tertulis di dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan
dimana dalam bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan
Al-Maturidi, dalam bidang fiqh menganut pendapat dari salah satu madzhab empat
(madzahibul arba’ah – Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali),
dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid
Al-Ghazali.
Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian
Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Baru pada sekitar
pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah
Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat dipergunakan dengan cara lain?
Aswaja sebagai madzhab artinya seluruh penganut Ahlussunnah wal Jama’ah
menggunakan produk hukum atau pandangan para Ulama dimaksud. Pengertian ini
dipandang sudah tidak lagi relevan lagi dengan perkembangan zaman mengingat
perkembangan situasi yang berjalan dengan sangat cepat dan membutuhkan inovasi
baru untuk menghadapinya. Selain itu, pertanyaan epistimologis terhadap
pengertian itu adalah, bagaimana mungkin terdapat madzhab di dalam madzhab?
PRINSIP ASWAJA SEBAGAI MANHAJ
Berikut ini adalah prinsip-prinsip Aswaja dalam kehidupan sehari-hari.
Prinsip-prinsip tersebut meliputi Aqidah, pengambilan hukum, tasawuf/akhlak dan
bidang sosial-politik.
1.
AQIDAH
Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah
wal-Jama’ah diantaranya yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan),
berkait dengan ikhwal eksistensi Allah SWT.
Pada tiga abad pertama Hijriyah, terjadi banyak perdebatan mengenai
Esksitensi sifat dan asma Allah SWT. Dimana terjadi diskursus terkait masalah
apakah Asma Allah tergolong dzat atau bukan. Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H)
secara filosofis berpendapat bahwa nama (ism) bukanlan yang dinamai (musamma),
Sifat bukanlah yang disifati (mausuf), sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah
adalah nama-nama (Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu bukanlah Allah dan bukan
pula selain-Nya.
Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid; sebuah
keyakinan yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa
Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia
Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.
Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah
menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu
yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam menjalani
kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai
oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini dengan
sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang membawa risalah
(wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh
setiap manusia.
Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia
akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat
imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka semua akan
dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka
yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk
akan masuk neraka.
2.
BIDANG
SOSIAL POLITIK
Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan
mewajibkan berdirinya negara (imamah), Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan
sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah).
Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang
membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya
sendiri. Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi
kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama
(mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku.
Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau
negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang
harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut.
Syarat-syarat itu adalah:
- Prinsip Syura (musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan
setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan
musyawarah adalah sebagai berikut:
“Maka
sesuatu apapun yang diberikan kepadamu itu adalah kenikmatan hidup di dunia;
dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang
beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang
yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka
marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami
berikan kepada mereka. Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan
dengan zalim mereka membela diri. (QS Al-Syura, 42: 36-39)
- Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam
Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun
bentuk pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu ayat yang memerintahkan
keadilan.
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.” (QS An-Nisa, 4: 58)
- Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)
Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan
tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip
kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang
lima), yaitu:
·
Hifzhu
al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk
menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan
bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
·
Hifzhu
al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin
kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan
Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau
kepercayaan kepada warga negara.
·
Hifzhu
al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin
keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib
memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat
rakyat sebagai manusia.
·
Hifzhu
al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas,
garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya
(etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu
al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di
wilayah negaranya.
·
Hifzh
al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan
ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga
negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung
tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara.
Al-Ushulul
Khams identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia
modern – bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok
atau prinsip di atas menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan
sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak
kemudian hari.
- Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan
Derajat)
Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan
mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan
satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan
berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak
dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang
lain. Dalam surat Al-Hujuraat disebutkan:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(Al-Hujuraat, 49: 13)
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul
akibat dari relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis
yang Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah.
Untuk
tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu. (Al-Maidah; 5: 48)
Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang
menjabat di tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga
negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani
dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan)
khususnya di mata hukum. Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan
derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh
perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam,
Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah.
Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan
untuk menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus
mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
- BIDANG ISTINBATH AL-HUKM (Pengambilan
Hukum Syari’ah)
Hampir
seluruh kalangan Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu:
1.
Al-Qur’an
2.
As-Sunnah
3.
Ijma’
4.
Qiyas
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath
al-hukm) tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqli
posisinya tidak diragukan. Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam
Islam.
Sementara As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul
SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah
setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau
digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam
Al-Qur’an.
As-Sunnah sendiri mempunyai tingkat kekuatan yang bervariasi. Ada yang
terus-menerus (mutawatir), terkenal (masyhur) ataupun terisolir (ahad).
Penentuan tingkat As-Sunnah tersebut dilakukan oleh Ijma’ Shahabah.
Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan
kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu
masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang
mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu
kasus.
Dalam
Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4: 115 “Dan
barang siapa menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” Dan “Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia..” QS Al-Baqarah,
2: 143.
Qiyas,
sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad para
Ulama. Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya
dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat
hukum. Qiyas sangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.
4.
TASAWUF
Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan "Tasawuf artinya
Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya; Tasawuf
adalah engkau berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apa
pun."
Imam
Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari
apa saja selain Allah… Aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di
Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka
adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling
tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain
Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang
membawa ilmu-ilmu dari Allah.”
“berada
semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apapun” kata
Imam Al-Junaid, lalu “menyucikan hati dari apa saja selain Allah.... Mereka (kaum
Sufi) telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah..,”
kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan
hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.
Ketidakterikatan kepada apapun selain Allah SWT adalah proses batin dan
perilaku yang harus dilatih bersama keterlibatan kita di dalam urusan
sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar
batin untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa
meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? karena justru di tengah-tengah kenyataan
duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya sebagai Khalifah harus
diwujudkan.
Banyak contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud namun juga sukses
dalam ukuran duniawi. Kita lihat saja Imam Al-Junaid adalah adalah pengusaha
botol yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun, Umar Ibn Abd Aziz
adalah seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin negara, Abu Sa’id Al
Kharraj sukses sebagai pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai
petani, dan Fariduddin al-Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah
sufi yang pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa
meninggalkan urusan duniawi.
Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah
(pekerjaan), kemudian berbuntut pada urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan
itu kita lantas bersinggungan dengan soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan,
hukum, persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak
harus ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan
duniawi secara total sementara hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat
dengan urusan-urusan itu. Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di dalam
batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk
mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi terwujudnya masyarakat yang baik.
KESIMPULAN
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr bersifat dinamis dan
sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan. Sebagai sebuah metode pemahaman dan
penghayatan, dalam makna tertentu ia tidak dapat disamakan dengan metode
akademis yang bersifat ilmiah. Dalam metode akademik, sisi teknikalitas
pendekatan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi prosedur yang teliti dan
nyaris pasti. Namunpun demikian dalam ruang akademis pembaharuan atau perubahan
sangat mungkin terjadi.
Sebagai metode berpikir, boleh jadi pada saatnya nanti Aswaja akan
memiliki kadar teknikalitas sama tinggi dengan metode ilmiah. Namun dalam
pandangan kami upaya pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam terhadap
Aswaja perlu kita upayakan bersama-sama terlebih dahulu. Khususnya terhadap apa
yang telah kami sajikan di sini, yang sangat butuh banyak masukan. Sebuah
kebutuhan lanjut, semacam jabaran teknis untuk memandu langkah per langkah
tindakan dan pandangan gerakan, akan muncul kemudian apabila kenyataan lapangan
sungguh-sungguh menuntut dan membutuhkannya. Akan tetapi sepanjang kebutuhan
primer kolektif kita masih terletak pada memahami, hal semacam itu kami
pandang belum menjadi kebutuhan obyektif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tim PW.
LTN NU Jawa Timur, Sarung dan Demokrasi, Khalista, Surabaya: 2008
2. Ghofir,
Jamal, Biografi Singkat Ulama Ahlussunah Wal Jamaah, Aura Pustaka,
Yogyakarta: 2012.
3. Abdussomad,
Muhyidin, KH., Hujjah NU, Khalista, Surabaya: 2009
4. Muzadi,
Abdul Muchith KH., NU dalam Prespektif sejarah dan Ajaran, Khalista,
Surabaya : 2006
5. Fadeli
Soeleiman, Antologi NU, Khalista, Surabaya : 2010
Posting Komentar